Jakarta - Durmagati mabuk. Ia mengejar-ngejar
Limbuk, dan hendak memperkosanya. Datanglah Petruk, menghajar Durmagati.
Sebagai imbalan telah menyelamatkan Limbuk, Petruk kemudian meminta
layanan seks. Limbuk pun lari tunggang langgang.
Itulah kekacauan yang muncul gara-gara ulah Subadra. Istri Arjuna itu mengumpulkan kaum perempuan dari pihak Pandawa maupun Kurawa untuk melakukan perlawanan. Mereka menolak perang yang akan terjadi antara dua kubu. Caranya, dengan laku nirasmara. Nir itu tidak atau tanpa, asmara itu cinta dan hubungan seksual.
Jadi, kaum wanita itu melakukan mogok seks, untuk membuat kaum pria pusing kepala dan akhirnya mau mengadakan perjanjian damai. Perang hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat, demikian Subrada dengan semangat feminismenya yang menggebu-nggebu membuat para ksatria Pandawa dan Kurawa pusing tujuh keliling.
Wayang kulit dengan lakon yang 'aneh' itu dipentaskan oleh dalang asal Solo Ki Jlitheng Suparman di Salihara, Jakarta, Kamis (27/9/2012) malam. Ki Jlitheng menamainya sebagai Wayang Climen', artinya wayang yang sederhana. Durasinya hanya 2,5 jam dengan perangkat gamelan yang lebih sedikit, dan pesinden juga hanya satu orang. Gending-gending yang dipakai pun lagu-lagu dolanan dan gending "gagrak anyar" yang lucu-lucu dan menggelitik.
"Kesenian itu kan hiburan, jadi nggak usah tegang-tegang," ujar Ki Jlitheng yang sebelumnya dikenal lewat inovasinya bernama Wayang Kampung Sebelah pada tahun 2000, yakni wayang dengan karakterisasi manusia-manusia biasa. Bersama Wayang Kampung Sebelah ia telah mementaskan sejumlah naskah, antara lain 'Yang Atas Mengganas, yang Bawah Beringas' dan 'Who Wants to Be A Lurah'.
Dari judul-judul lakon yang dimainkan, wayang Ki Jlitheng memang mengusung kritik sosial, satire, dan humor. Pada 2010 ia mendirikan Wayang Climen, dan kembali ke tokoh-tokoh Mahabarata, namun dengan lakon-lakon berdasarkan naskah ciptaan sendiri. Hal itu dilakukannya untuk menarik perhatian "anak-anak zaman sekarang" agak mau menonton wayang.
Lakon 'Nirasmara' sendiri ditulis Ki Jlitheng dengan inspirasi dari 'Lysistrata' karya Aristophanes dari khasanah drama Yunani klasik. 'Lysistrata' berkisah tentang ancaman perang antara Athena dan Sparta. Para perempuan dari kedua negara kota tersebut kemudian mogok seks agar perang batal.
Pentas Wayang Climen 'Nirasmara' oleh Ki Jlitheng Suparman merupakan bagian dari Festival Salihara ke-4 yang berlangsung sejak 22 September hingga 24 Oktober 2012. Bagi Anda yang belum menyaksikannya semalam, masih ada satu kali pertunjukan lagi, Jumat (28/9/2012) pukul 20.00 WIB. Harga tiket untuk umut Rp 50 ribu dan untuk pelajar/mahasiswa Rp 25 ribu. Dijamin bakal ger-geran!
(mmu/mmu)
No comments:
Post a Comment